Karya Santri || Minggu, 24 Juni 2018
Kehidupan masyarakat berubah amat cepat sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa akibat positif sekaligus negatif. Dalam konteks ilmu sosial, ada pedoman yang mengemukakan bahwa “all is change “. Disamping ada pula yang menunjukan kontinuitas.
Hingga kini, peran pendidikan masih tetap menjadi tumpuan harapan yang dapat membawa pencerahan dan stimulator bagi masyarakat yang mengalami perubahan. Namun dalam menghadapinya tidak dapat di pungkiri lembaga pendidikan harus dinamis untuk menyesuaikan perubahan masyarakat. Para civitas akademika dengan bidang dan dukungan Community of scholar-nya sudah seharusnya mengupayakan penyesuaian, bahkan perubahan untuk mengantisiasi sekaligus menjawab berbagai dampak perubahan itu. Termasuk pesantren yang menempuh mu`adalah (persamaan) dan jenjang pendidikan Ma’had ‘Aly supaya tidak tereliminasi laju roda modernitas.
Dilihat dari historis, pendidikan meunasah atau dayah, surau dan pesantren telah ada di Indonesia pada era pra kolonial. Trilogi sistem pendidikan di atas secara fungsional, subtansial dan operasional dipresentasikan bermakna tunggal. Dari ranah fungsional ketiganya dijadikan wadah membina mental dan moral di samping wawasan sebagai manifestasi agama, masyarakat dan bangsa. Dilihat dari kacamata substansial trilogi khas Indonesia ini merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius para teungku, buya dan kyai tanpa motif materil dan murni pengabdian kepada Allah SWT. Secara operasional muncul dan berkembang dari masyarakat bukan sebagai kebijakan, proyek, apalagi perintah para sultan, raja atau penguasa. Fakta sejarah ini menegaskan mengapa tidak mengherankan memasuki masa kemerdekaan trilogi sistem pendidikan diatas tetap menunjukan eksistensi khidmah kepada umat, meski sitem pendidikan islam tradisional tersebut di ‘anak tirikan’.
Betapa perubahan modernitas menyeret individu maupun masyarakat pada maslah multi-dimensi dan kultural. Individu manusia modern dituntut cerdas dan rasional dalam segala aspek. Namun di sisi lain belum menyentuh efeksinya (sikap). Masyarakat modern meresahkan keruhan kriminalitas, hegemonisme, liberalisme tanpa batas, bahkan radikalisme yang menginginkan perubahan NKRI. Lebih memilukan sering pelakunya adalah kaum terpelajar yang notabene mereka tonggak estafet bangsa. Maka dari itu dirasa perlu mengejahwantahkan karakter atau merealisasikan pembiasaan (biasa disebut budaya religius).
Kenyataan bahwa sebagus apapun kurikulum dan metode/strategi pembelajaran apabila tidak di terapkan budaya religius maka akan kesulitan dalam membudayakan religiusitas meski dalam kognitifitasnya mumpuni. Pesantren yang kini kongkren menjadi center of knowledge (pusat ilmu pengetahuan) sekaligus Center transfer of value (pusat pengajaran tata nilai) mestinya mengevaluasi peserta didiknya yang memerankan peran sentral dalam keberhasilan menjalankan misi kedepan. Hasil yang didapat santri menjadi insan kamil, bermental revolusioner, berkarakter kuat dan moral uswatun hasanah mampu mengemban responsibilitas menguraikan dan menjawab permasalahan dunia modern dan perkembangan perubahan yang selalu pasti sebagai agent of change pada struktural masyarakat bernegara. Tentunya demi keluhuran ini bersinergi dengan pemerinyah adala diperlukan untuk meluluskan pesantren sebagai instiusi pendidikan Negara. []
Oleh: Arif Fahrijal, santri asal Brebes
Sumber :lirboyo.net
KembaliArtikel || Senin, 25 Juni 2018
Pembaca yang budiman, sebagaimana kita ketahui, Nabi Isa AS merupakan utusan Allah yang menempati urutan ke-24 dari 25 Nabi dan Rasul yang wajib diketahui oleh kaum Muslim. Terlahir dari seorang ibu pilihan bernama Maryam, Nabi Isa disebutkan dalam Al-Quran sebagai Rasul yang diperkuat dengan Roh Kudus:
وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ
Artinya, “Kami telah berikan kepada Isa putra Maryam bukti-bukti kebenaran (mukjizat) serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds,” (Al-Baqarah ayat 87).
Menurut jumhur (mayoritas) mufassir, maksud Roh Kudus adalah malaikat Jibril, namun ada yang mengatakan bahwa Roh Kudus adalah keimanan yang dijadikan Allah untuk menguatkan hamba-hamba-Nya.
Sebagai Rasul yang diutus kepada kaum Bani Israil, Nabi Isa dibekali oleh Allah SWT beberapa kemampuan yang relevan dengan zamannya, yakni kemampuan dalam ilmu pengobatan. Tercatat dalam sejarah bahwa Nabi Isa mampu menyembuhkan seseorang berpenyakit kusta, bahkan atas seizin Allah mampu membangkitkan orang yang sudah meninggal meski hanya sementara. Kemampuan-kemampuan semacam itu tidak lepas dari kemampuannya dalam menguasai ilmu atas seizin Allah SWT.
Selain mementingkan ilmu, Nabi Isa AS juga memberikan perhatian yang lebih terhadap para pencari ilmu. Dikutip oleh Imam Al-Ghazali, berikut ini adalah beberapa pesan Nabi Isa terhadap para pencari ilmu:
وقال عيسى صلى الله عليه وسلم من علم وعمل وعلم فذلك يدعى عظيماً في ملكوت السموات
Artinya: “Berkata Nabi Isa AS: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya, maka ia akan mendapatkan undangan yang agung di kerajaan langit,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Beirut, Darul Ma’rifat, 2000, juz I, halalaman 10-57).
Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa ada tiga tahapan bagi seorang pencari ilmu, yaitu mempelajarinya hingga paripurna, kemudian mengamalkannya, dan mengajarkannya. Tiga tahapan ini masing-masing dapat berpotensi membuahkan pahala dari Allah SWT, dan ketiganya harus berurutan, dan dilaksanakan secara keseluruhan. Seorang pelajar tidak hanya cukup mengetahui ilmu tanpa pengamalan dan pengajaran. Sebaliknya seseorang juga akan mustahil bisa dengan baik menjadi pengamal dan pengajar tanpa adanya pembelajaran yang paripurna.
Lebih lanjut, Nabi Isa AS juga memberikan peringatan bagi para pelajar:
وقال عيسى عليه السلام ما أكثر الشجر وليس كلها بمثمر وليس كلها بطيب وما أكثر العلوم وليس كلها بنافع
Artinya, “Nabi Isa AS berkata, ‘Ada banyak pohon, namun tak semua berbuah, dan tak semua berasa nikmat. Demikian pula ilmu, tak semuanya bermanfaat.’”
Pernyataan di atas merupakan peringatan dari Nabi Isa AS bahwa tak semua ilmu itu bermanfaat. Ada beberapa ilmu yang sia-sia jika kita pelajari, seperti ilmu nujum, perdukunan, dan santet. Demikian pula pada tahapan selanjutnya, ada kalanya ilmu yang dipelajari sudah benar, namun menjadi sia-sia seperti halnya seorang pakar fikih yang tidak mengamalkan ilmunya dalam ibadah sehari-hari.
Ketidaksinkronan antara ilmu dan amal disinggung juga oleh Nabi Isa AS sebagai berikut:
وقال عيسى عليه السلام لا تضعوا الحكمة عند غير أهلها فتظلموها ولا تمنعوها أهلها فتظلموهم كونوا كالطبيب الرفيق يضع الدواء في موضع الداء
Artinya, “Nabi Isa AS berkata, ‘Jangan letakkan hikmah pada selain ahlinya. Dengan begitu kalian belaku aniaya atas hikmah tersebut. Jangan pula kalian menghalangi hikmah itu dari ahlinya karena dengan begitu kalian menganiaya mereka. Jadilah seperti dokter profesional yang tepat dalam memberikan resep sesuai dengan penyakit pasien.”
Dalam pernyataan ini, Nabi Isa AS menyayangkan sikap para pencari ilmu yang sebenarnya bisa menjadikan ilmu tersebut sebagai hikmah, namun akibat tak ada pengamalan, maka ilmu tersebut malah menyesatkan mereka. Hal tersebut digambarkan oleh Nabi Isa AS, seumpama seorang dokter yang salah memberikan resep kepada pasien yang tidak berhak menerimanya.
Begitu besarnya kekhawatiran Nabi Isa AS pada para pencari ilmu namun tak mengamalkannya, hingga ia berkata:
وقال عيسى عليه السلام لا تعلقوا الجواهر في أعناق الخنازير فإن الحكمة خير من الجوهر ومن كرهها فهو شر من الخنازير
Artinya, “Nabi Isa AS berkata, ‘Jangan kau kalungkan berlian pada leher babi. Hikmah itu lebih baik dari berlian. Siapa saja yang membenci hikmah, maka ia lebih buruk dari babi.”
Subhânallâh, masyâ Allâh, semoga kita terlepas dari sindiran-sindiran Nabi Isa AS. Demikian pemaparan kali ini, semoga bermanfaar. Wallahu a’lam.
Sumber : www.nu.or.id
KembaliSenin, 23 Juli 2018
Rabu, 4 Juli 2018
Sabtu, 23 Juni 2018
Sabtu, 23 Juni 2018